Minggu, 02 Maret 2014

SERIBU SATU KISAH PENERIMA BEASISWA - KEBANGKITAN KAUM DU’AFA, BIDIKMISI MEMUTUS MATA RANTAI KEMISKINAN

Kisah para penerima Bidikmisi ini begitu menyentuh dan inspiratif, karena yang mereka sampaikan adalah realitas, bukan sekadar retorika indah buatan para motivator.

Bersamaan dengan acara silaturahim penerimaan Bidikmisi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menyerahkan buku kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono sekaligus meluncurkan buku berjudul 'Kebangkitan Kaum Duafa, Bidikmisi Memutus Mata Rantai Kemiskinan'. Buku ini berisi sebagian kisah para penerima Bidikmisi.


Disebutkan dalam buku itu, ada dua hambatan besar anak-anak keluarga miskin tidak memasuki gerbang pendidikan tinggi. Pertama, jelas betul, faktor ketiadaan biaya. Kedua, yang merupakan dampak dari faktor pertama, anak-anak keluarga miskin kebanyakan tidak berani mencanangkan impiannya hingga tinggi. 

Untungnya, kini pintu-pintu akses pendidikan untuk mereka telah dibuka, bahkan akses tersebut akan senantiasa ditingkatkan efektivitasnya. Program bantuan Bidikmisi adalah salah satu di antaranya.

Bidikmisi adalah program bantuan biaya pendidikan yang diberikan Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada mahasiswa dari keluarga ekonomi terbatas tapi memiliki potensi akademik memadai.

Sejak pintu akses dibuka pada 2010, sebanyak 149.180 mahasiswa (sampai tahun akademik 2013/2012) anak keluarga miskin dapat mengenyam pendidikan tinggi di berbagai kampus terkenal di Indonesia, termasuk di perguruan tinggi swasta yang dimulai sejak 2012. Mereka terbukti dapat mengikuti perkuliahan dengan baik, bahkan banyak di antara mereka yang mampu berprestasi.

Saharuddin misalnya, peraih IP 4,00 dari Politeknik Negeri Pangkep dan didapuk mahasiswa yang lulus paling. Padahal, dia berasal dari keluarga petani miskin.

Tirza Puji Syukur asal Bojonegoro pun demikian. Puji selama lima semester berturut-turut di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mampu mempertahankan IP 4,00. Rekannya, sesama penerima Bidikmisi dari fakultas dan universitas yang sama, Risma Pratiwi, juga mampu mengukir prestasi IPK 3,9. Itu juga yang diraih oleh Ria Rossi dari Fakultas Kedokteran Universitas Gajahmada dengan IPK 3,97.

Winda Patrani Senduk memperoleh IPK 3,93. Peserta Bidikmisi angkatan 2011 asal Sulawesi Utara ini kuliah di Universitas Manado Program Studi Pendidikan Ekonomi. Masih dari Sulawesi Utara, ada Markus Pantouw yang menimba ilmu di Politeknik Negeri Manado, Program Studi D4 Akuntansi Keuangan. Pria kelahiran Desa Talawaan, Kab. Minahasa Utara, ini masuk tahun 2011 dengan IPK 3,89.

Bagai keajaiban

Selain prestasi akademik, penerima Bidikmisi ternyata juga mendapat berbagai penghargaan dan aktif mengikuti organisasi kampus dan kegiatan berskala nasional, bahkan internasional. Rina Febriyani, mahasiswi Pendidikan Akuntansi Universitas Pedidikan Indonesia (UPI) Bandung misalnya. Rina dapat mengikuti International Cultural Summit, Indonesia Model of United Nation (IMUN), juga acara kepemudaan Global Youth Voice Conference.

Tak hanya Rina. Prestasi lainnya juga diraih Septi Setiawati, mahasiswi Politeknik Bandung, Program Studi D3-Teknik Informatika mendapat Medallion for Excellence dari London dalam rangka Worldskills Competition 2011.

Memang, bagi para penerima Bidikmisi, program beasiswa tersebut merupakan berkah dan anugerah tak terkira. Bahkan, ada yang menyebutnya sebagai sebuah keajaiban, Tuhan Maha Kaya.

Betapa tidak. Mereka adalah anak-anak miskin dari berbagai daerah Indonesia, termasuk dari daerah terpenci. Mereka, seolah-olah, dipersilakan seketika untuk memasuki pintu gerbang perguruan tinggi di kota dengan gratis. Bahkan, mereka juga mendapatkan uang saku atau biaya hidup.

Ya, kisah-kisah kebahagiaan dan rasa bersyukur mereka memang tergambar kuat di buku ini. Mereka bertutur tentang kondisi keluarga, himpitan ekonomi, dan impian yang kini berani dipeluknya. Kisah mereka begitu menyentuh dan inspiratif, karena yang mereka sampaikan adalah realitas, bukan sekadar retorika indah buatan para motivator.

Mereka juga pontang-panting mengurus segala persyaratan, mulai dari foto keluarga, foto rumah, maupun surat keterangan tidak mampu (SKTM). Bahkan, ada yang nyaris gagal hanya lantaran tak bisa menunjukkan fotokopi surat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Bagaimana bisa punya, rumah sederhana yang dihuni itupun statusnya cuma mengontrak? Calon mahasiswa ini juga harus lari ke warnet untuk mendaftar secara online atau tidur di musala karena tak punya sanak saudara di kota.

Yang penting sekolah

Mereka adalah anak keluarga susah. Ayah mereka bekerja sebagai sopir, buruh serabutan, tukang tagih nasabah koperasi, nelayan, hingga kuli di pasar tradisional yang penghasilannya tak lebih dari Rp 10 ribu per hari.

Hidup mereka serba kekurangan, namun mereka tinggal dalam perhatian dan kasih sayang orangtua yang berlimpah. Orangtua yang rela menghilang beberapa hari untuk ngebut memulung botol plastik, agar tunggakan SPP anaknya segera terlunasi, supaya anak-anaknya bisa ikut ujian dan tidak dipermalukan temannya. Orangtua yang tak banyak bicara, tetapi tak henti menggumamkan doa.

"Yang penting bisa kamu sekolah, biar hidupmu tidak susah seperti kami," begitu rata-rata pengakuan mereka.

Setelah menerima Bidikmisi dan berkuliah, bukan berarti selesai semua masalah anak-anak itu. Mahasiswa Bidikmisi harus berjuang meraih nilai tinggi dan sanggup hidup dengan uang saku Rp600 ribu per bulan. Ada kalanya uang bulanan itu terlambat cair, maka seribu jurus survival mereka lakukan, mulai dari jalan pintas ngutang ke teman, memberi les privat, menjahit kerudung, menjual suara, hingga menjadi motivator muda. 

Yang menarik, uang bulanan dari Pemerintah itu ternyata tidak dinikmati sendiri. Mana tega, jika di kampung adik-adik juga butuh biaya? Walhasil, manfaat uang Bidikmisi menjadi berganda, yang menggelinding bagai dana bergulir.

Phillip Anggo Krisbiantoro, mahasiswa Universitas Gajahmada Yogyakarta, ini misalnya. Philip mengaku rela berbagi dengan tiga adiknya di desa. Dia harus turut menopang ekonomi keluarga karena ayahnya hanya kuli bangunan dan ibunya seorang pembantu rumah tangga.

"Walau dapat Bidikmisi, makan saya masih kurang karena saya harus membagi uang dengan adik-adik saya. Jadi, bantuan Rp 600 ribu itu saya bagi dua. Untuk biaya sekolah ketiga adik saya dan biaya hidup saya," katanya di hadapan Mendikbud Mohammad Nuh.

Gugum Gumilar juga demikian. Penerima Bidikmisi tahun 2011 di Universitas Negeri Jakarta ini merasa perlu berbagi rezeki dengan adik-adiknya. Bahkan, ada juga mahasiswa yang cerdik menyisihkan sebagian uang Bidikmisi untuk membesarkan warung bakso ayahnya sehingga lebih layak dan jadi meningkat omzetnya.

Begitulah, setelah akses dibuka, hasilnya demikian nyata. Mereka berharap agar ke depan makin banyak anak keluarga tidak mampu yang dapat dibiayai Bidikmisi. Harapan ini bak gayung bersambut. 

Memang, ini bukan basa-basi. Keberadaan program Bidikmisi ini sudah tersurat dalam Undang-undang No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 74 ayat (1) yang menegaskan, “PTN wajib mencari dan menjaring calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal, untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua program studi".

Kini, karena sudah tercantum di UU (bukan hanya Peraturan Menteri atau Peraturan Pemerintah), berarti kebijakan tentang pendidikan tinggi bagi keluarga miskin bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab negara. Sebuah peluang emas bagi anak keluarga tidak mampu untuk mengembangkan potensi dan menggapai harapan.

Inilah kebangkitan kaum duafa. Karena telah dibiayai oleh negara, kelak mereka pasti tergerak untuk membalas budi kepada bangsanya. Menjadi generasi yang turut mengibarkan panji merah putih lebih tinggi-tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar